Sabtu, 21 Juli 2012

Cinema News

Jumat, 28 Oktober 2011 11:41

Floating Cinema IIEFF, Cinema Paradiso Sebenarnya

Wakatobi Floating Cinema
Indonesia International Environmental Film Festival (IIEFF), A Journey To Wakatobi  memasuki hari ketiga. Perhelatan perfilman bertema lingkungan pertama di Indonesia ini, diadakan mulai 26-30 Oktober di beberapa tempat di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tengah.

Wakatobi adalah sebuah lokasi yang dikenal sebagai salah satu tempat yang memiliki keindahan bawah laut terindah di Indonesia, sehingga IIEFF yang baru untuk pertama kalinya diselenggarakan ini, mengusung sebuah konsep yang inovatif dan provokatif, yaitu mengadakan pemutaran film di daerah yang berdekatan dengan laut.

Beberapa tempat pemutarannya antara lain tepi pantai Patuno Resort, di Pelabuhan Onelaro dan di perkampungan Wakatobi di Mola. Semua tempat menawarkan pemandangan alam yang indah dan eksotis, serta hamparan laut biru.

Salah satu agenda yang mendapat banyak perhatian adalah program Floating Cinema. Program ini menawarkan suatu pemutaran film di alam terbuka. Sebenarnya, memutar dan menonton film di alam terbuka merupakan sebuah hal yang umum di Indonesia, yang pada awal 90'an masih sering ditemui dan dikenal dengan konsep layar tancap.

Yang membuat program ini menjadi sangat istimewa adalah film yang diputar adalah mengenai lingkungan dan para penonton menyaksikannya di atas perahu di atas laut Wakatobi.

Tadi malam, (Selasa 27/10)) program Floating Cinema diadakan untuk kali pertama. Keistimewaan semakin bertambah ketika film yang diputar adalah The Mirror Never Lies, karya Kamila Andini, dan diputar di perkampungan Suku Bajo, suku yang dikenal memiliki kemampuan menjelajah lautan, di daerah Mola.

Merupakan hal yang sangat unik, ketika warga Suku Bajo menyaksikan cuplikan kehidupan mereka sendiri dalam film The Mirror Never Lies dan itu dilakukan di kampung mereka.

Kampung Bajo di Mola, hanyalah satu dari sekian banyak perkampungan Bajo yang tersebar di beberapa lokasi di Wakatobi dan Mola adalah lokasi yang terdekat dari pusat kota.


Para penonton dan pengunjung festival menuju ke lokasi dengan menggunakan mobil sekitar 10-15 menit ke sebuah dermaga kecil. Dari sana pengunjung berpindah ke moda transportasi berupa sampan bermuatan 10-20 orang dan dilengkapi dengan perahu motor selama 10 menit ke kampung Mola.

Sesampainya di lokasi, sudah terpapar sebuah pemandangan yang luar biasa.

Puluhan sampan penduduk mengitari di depan sebuah layar besar dan dipancangkan di dua tiang bambu, di dekat rumah panggung salah seorang penduduk Suku Bajo. Mereka dan pengunjung dari luar daerah dan internasional bersatu tanpa sekat di atas perahu, terapung di atas birunya laut Wakatobi, melihat potret kehidupan Suku Bajo di tengah-tengah kampung mereka sendiri.


Suatu suasana yang enigmatik tercipta saat program Floating Cinema dilangsungkan. Di payungi langit malam yang cerah tidak berawan, jutaan bintang di angkasa dan diselingi dengan beberapa kali bintang jatuh menghiasai langit di atas perkampungan Suku Bajo di Mola, Wakatobi.

Penulis dan beberapa pegunjung seperti sineas Riri Riza dan Nicholas Saputra, sudah beberapa kali menonton The Mirror Never Lies. Namun, menonton film tersebut di tengah masyarakat yang potret kehidupannya "dipinjam" ke layar lebar, merupakan sebuah hal yang sangat berbeda.


Pengunjung bisa merasakan emosi yang berbeda dari masyarakat Suku Bajo di program tersebut. Ada momen di mana pengunjung bisa merasakan penafsiran berbeda terhadap film dari Suku Bajo.

Seperti ketika adegan karakter Lumo ditinggal pergi oleh ayahnya. Banyak penduduk yang tertawa menyaksikan ekspresi Lumo. Sesuatu yang ditafsirkan oleh pengunjung yang bukan dari Suku Bajo, sebagai suatu kesedihan. Dan ada beberapa adegan yang mengusung humor dan dialek local, membuat semua penduduk Suku bajo tertawa bersama dan bersorak riuh rendah, lengkap dengan bahasa mereka yang unik.

Emosi para pengunjung dan warga Suku Bajo melebur melalui film The Mirror Never Lies. Tidak perlu berkata dan melalui obrolan personal, namun semua orang yang datang dan menonton, seperti merasakan suatu kebersamaan. Mereka tertawa bersama, bertepuk tangan bersama dan saling menoleh kiri –kanan ketika ada suatu adegan yang dimaknai berbeda oleh yang lain.

Pemutaran pada program Floating Cinema merupakan sebuah program yang sangat inovatif dalam upaya memperkenalkan film Indonesia di tengah masyarakat. Bisa diakses oleh semua orang, tidak berada di ruangan yang memiliki mesin pendingin dan berada di alam terbuka.

Komentar positif pun kemudian berdatangan, baik komentar langsung maupun melalui social media seperti Twitter.

Mira Lesmana
, Riri Riza dan Nicholas Saputra mengaku mendapat pengalaman sinematik berbeda ketika menghadiri program Floating Cinema. Bahkan mereka kemudian memutuskan untuk mengunjungi perkampungan Suku Bajo dari dekat.


Vincent Moon, sineas asal Perancis, mengungkapkan di Twitternya, bahwa pemutaran semalam merupakan pengalaman luar biasa. Bahkan ada salah satu pengunjung dari luar daerah yang mengatakan pemutaran semalam merupakan wujud cinema paradiso dalam artian sebenarnya.

Keberhasilan sebuah film bukan hanya diukur dari parameter keberhasilan mengumpulkan pundi-pundi uang dan jumlah penonton yang spektakuler. Keberhasilan film itu ditayangkan dalam momen yang tepat untuk kemudian mendapat apresiasi luar biasa, sebenarnya merupakan keberhasilan dan tolak ukur utama yang sering dilupakan produser dan sineas bermental kapitalis.

Program Floating Cinema yang diadakan oleh IIEFF adalah salah satu contoh tersebut. Di mana jarak antara penonton, alam dan film menjadi sangat dekat, secara emosi dan spasial.

Komentar bahwa program Floating Cinema menjadi perwujudan Cinema Paradiso, merupakan suatu ungkapan yang tidak berlebihan dalam konteks ini.

(tz/ajo/bc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar